
“Udah bikin konten rutin, kualitas oke, desain catchy. Tapi interaksi? Masih kayak rumah kosong.”
Kalimat itu bisa jadi mewakili keresahan banyak content creator di media sosial. Di era algoritma yang berubah-ubah, engagement jadi senjata utama buat bikin kontenmu tetap relevan dan terlihat.
Tapi… gimana sih caranya ningkatin interaksi di media sosial?
Itu yang coba dibahas dalam sesi Ask the Expert bareng Kak Agung Prasetyo, seorang freelance content writer dengan pengalaman handle berbagai brand. Judul sesi kali ini adalah Social Media Engagement: Cara Meningkatkan Interaksi Audience.
Mau tau apa aja insight yang dikasih ka Agung? gausah basa basi, Yuk langsung aja kita bahas!
1. Menyusun Customer Journey yang Terhubung Organik di Media Sosial
“Gimana sih caranya menyusun Customer Journey yang menghubungkan titik-titik media sosial secara organik?”
Ini adalah pertanyaan yang sering banget muncul, apalagi di era digital saat ini di mana hampir semua brand menggunakan media sosial untuk menyentuh audiens mereka. Jawabannya, kuncinya ada pada dua hal: tujuan yang jelas dan Call to Action (CTA) yang tepat.
Menurut Kak Agung Prasetyo, langkah pertama dalam menyusun Customer Journey adalah mengetahui dengan jelas arah yang ingin dicapai. Apakah tujuannya untuk meningkatkan self-awareness, atau justru mendorong pembelian (conversion) di akhir?
Misalnya, kalau tujuanmu adalah sales, kini banyak platform, seperti TikTok, yang menyederhanakan perjalanan konsumen (Customer Journey). Contoh nyata: adanya fitur keranjang kuning di TikTok, yang memungkinkan audiens langsung membeli produk tanpa harus ke marketplace terlebih dahulu. Dengan adanya fitur ini, proses yang sebelumnya panjang, sekarang bisa dipangkas langsung menuju pembelian.
“Kuncinya ada pada CTA yang jelas dan penyesuaian konten yang sesuai dengan tujuan journey yang ingin kamu bangun.”
Begitulah menurut Kak Agung. Dengan CTA yang tepat, audiens bisa diarahkan ke langkah berikutnya—apakah itu klik untuk membeli, follow akun, atau sekadar komen.
Jadi, sebelum kamu mulai membuat konten, pastikan kamu sudah tahu:
- Mau audiens melakukan apa setelah melihat kontenmu?
- Arahkan mereka ke mana dengan CTA yang jelas: Klik link, follow, komen, atau langsung belanja?
Dengan menentukan arah Customer Journey yang jelas, kamu bisa memastikan konten yang kamu buat lebih terarah dan efektif dalam menghubungkan audiens dengan langkah-langkah berikutnya.
2. Memanfaatkan FOMO untuk Meningkatkan Interaksi dengan Audiens

“Gimana sih caranya memanfaatkan prinsip FOMO untuk meningkatkan interaksi di media sosial?”
Prinsip Fear of Missing Out atau FOMO ternyata bukan hanya bermanfaat untuk menarik perhatian, tapi juga bisa menjadi strategi jitu untuk mendorong impulsive buying dan meningkatkan engagement dengan audiens.
Menurut Kak Agung Prasetyo, FOMO bisa jadi senjata ampuh untuk menciptakan urgensi dan dorongan emosi dalam audiens. Misalnya, banyak influencer atau host live yang menggunakan prinsip kelangkaan dan waktu terbatas untuk mendorong aksi audiens secara impulsif. “Misalnya, bilang ‘sisa 3 pieces lagi, ayo check out sekarang!’ atau ‘promo tinggal 30 detik lagi!’,” jelas Kak Agung.
Di sisi lain, prinsip FOMO ini juga bisa diterapkan di konten regular, bukan hanya saat live. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menambahkan Call to Action (CTA) yang membuat audiens merasa mereka akan melewatkan sesuatu jika tidak segera bertindak. Misalnya:
- “1000 komen pertama bakalan aku DM sendiri rahasianya!” (padahal kamu pakai auto DM).
- “Cuma yang like dan komen yang bisa masuk ke komunitas Telegram aku ya.”
- “QnA buka sampai hari ini aja, loh!”
Dengan cara-cara seperti ini, audiens akan merasa adanya kesempatan terbatas yang mendorong mereka untuk lebih cepat berinteraksi, supaya tidak ketinggalan.
Jadi, prinsip FOMO bisa sangat efektif untuk memicu engagement dan menciptakan rasa urgensi pada audiens. Kuncinya adalah membuat mereka merasa ada sesuatu yang spesial yang hanya bisa didapatkan dengan bertindak cepat.
3. Peran Konten yang Mengandung Vulnerability dalam Meningkatkan Engagement
“Apa sih peran konten yang mengandung vulnerability atau human touch dalam engagement?”
Salah satu cara untuk benar-benar connect dengan audiens adalah melalui vulnerability atau sisi kemanusiaan kita. Meski terdengar agak tricky, vulnerability ini sebenarnya bisa menjadi kunci untuk meningkatkan engagement, jika diterapkan dengan bijak.
Menurut Kak Agung Prasetyo, kadang vulnerability itu berarti kita harus berbagi hal-hal yang cukup personal, seperti kegagalan bisnis atau kesalahan yang kita lakukan. Meskipun ada risiko, Kak Agung berbagi pengalamannya bahwa hasilnya bisa sangat positif untuk brand atau akun kita.
“Dengan berbagi sisi manusiawi kita, audiens jadi merasa lebih dekat dan lebih relate. Mereka merasa sudah ‘nemenin’ kita di setiap langkah, baik itu saat sukses maupun saat gagal. Itu yang mendorong mereka untuk berinteraksi, like, komen, atau bahkan save konten kita,” ujar Kak Agung.
Jadi, kalau audiens melihat kita sebagai ‘real person’ yang berjuang, mereka akan lebih cenderung untuk berinteraksi. Mereka merasa bisa belajar dari kegagalan kita atau sekadar memberi dukungan moral. Namun, Kak Agung juga mengingatkan untuk tetap hati-hati dalam berbagi informasi. Ada hal-hal tertentu, terutama yang terlalu pribadi atau sensitif, yang tidak boleh kita share ke publik.
Jadi, saat memutuskan untuk berbagi konten yang mengandung vulnerability, pastikan kamu sudah mempertimbangkan batasan dan hanya membagikan hal yang sesuai dengan nilai dan tujuan brand kamu. Jangan sampai berbagi terlalu banyak hal pribadi yang malah bisa menimbulkan masalah.
4. Menjaga Engagement Tetap Meningkat di Tengah Perubahan Tren dan Kejenuhan Audiens
“Bagaimana sih cara menjaga agar engagement tetap meningkat di tengah perubahan tren dan kejenuhan audiens?”
Menjaga engagement tetap tinggi di tengah perubahan tren dan kejenuhan audiens memang bukan hal yang mudah. Namun, jawabannya adalah dengan reading the wave atau mengikuti tren yang sedang berkembang.
Salah satu kunci untuk menjaga engagement adalah dengan selalu up to date dengan apa yang sedang tren, sehingga audiens merasa kalau brand kita juga “terhubung” dengan apa yang sedang happening di masyarakat. “Kita perlu memperhatikan tren yang berkembang dan melihat apakah brand kita relevan dengan tren tersebut,”
Namun, Kak Agung juga mengingatkan bahwa tidak semua tren harus diikuti. Terkadang, kita perlu memilih tren yang memang sesuai dengan nilai dan identitas brand kita.
Dengan mengikuti tren yang tepat, audiens akan merasa bahwa brand kita kekinian dan berkembang bersama mereka. Ini bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kejenuhan audiens yang merasa bosan dengan konten yang itu-itu saja. Jadi, meski tren selalu berubah, menjaga keberlanjutan engagement bisa dicapai dengan tetap mengikuti gelombang tren yang sedang naik.
5. Memadukan Storytelling dan Copywriting untuk Konten yang Engaging
“Gimana sih cara memadukan elemen storytelling dan copywriting supaya bisa menghasilkan konten yang engaging?”
Storytelling dan copywriting, dua hal ini bisa menjadi kombinasi yang sangat kuat untuk menghasilkan konten yang tidak hanya informative, tetapi juga engaging dan mampu menarik perhatian audiens. Namun, seperti yang dijelaskan Kak Agung Prasetyo, kunci utama dalam keduanya adalah authenticity atau keaslian.
Menurut Kak Agung, meskipun topik yang dibahas bisa sama, jika penyampainya bukan kita, maka konten tersebut tidak akan terasa sama. Ini berarti, konten yang paling powerful adalah yang benar-benar datang dari pengalaman atau pandangan kita. Misalnya, jika kita ingin membuat konten yang membandingkan produk A dan produk B, tidak cukup hanya dengan menjelaskan perbedaannya. Banyak orang bisa melakukannya. Namun, untuk membuatnya menarik, kita perlu memanfaatkan storytelling.
“Dengan storytelling, kita bisa menyelipkan elemen personal yang relatable bagi audiens,” ujar Kak Agung.
Cerita tentang problem, agitation, dan solution atau yang biasa disebut metode PAS (Problem-Agitate-Solution) bisa membuat konten kita lebih hidup. Dengan cara ini, audiens tidak hanya diberi informasi tentang perbedaan produk, tetapi juga dibawa untuk merasakan masalah yang dihadapi, kekhawatiran yang ada, dan akhirnya solusi yang ditawarkan oleh produk kita.
Menggabungkan storytelling dan copywriting dengan cara ini membuat konten jadi lebih engaging dan berkesan. Audiens bisa lebih terhubung secara emosional dengan cerita yang kita sampaikan, bukan hanya dengan fakta atau data yang kering.
6. Engagement Tinggi = Penjualan Tinggi? Belum Tentu!
“Bagaimana cara menentukan apakah engagement yang tinggi benar-benar berkonversi ke tujuan bisnis seperti brand awareness atau bahkan penjualan?”
Pertanyaan ini cukup penting untuk para pelaku social media marketing, karena engagement sering kali dijadikan tolok ukur keberhasilan konten. Tapi, menurut Kak Agung Prasetyo, jawabannya bisa jadi “iya” dan “enggak”, tergantung pada tujuan bisnisnya.
Kalau tujuan utamanya adalah brand awareness, maka engagement tinggi cenderung membawa dampak positif. Semakin tinggi engagement, semakin banyak orang yang berinteraksi dengan konten, dan itu akan membuat algoritma Instagram atau TikTok merekomendasikan konten kita ke lebih banyak orang.
“Kalau fokus ke awareness, peluang engagement berkonversi itu besar banget,” kata Kak Agung. Jadi, secara otomatis jangkauan dan eksposur brand meningkat.
Namun, berbeda cerita kalau tujuannya adalah konversi atau penjualan. Di sini, engagement saja tidak cukup. Kita perlu tahu, apakah audiens yang engage dengan konten kita juga bergerak menuju tindakan pembelian? Misalnya, apakah mereka mengklik link di bio, mengunjungi marketplace, atau bahkan menekan tombol “beli” di TikTok Shop?
Setiap platform juga punya alur customer journey yang berbeda. Di TikTok, sistem sosial commerce seperti keranjang kuning memungkinkan kita untuk melacak lebih jelas apakah penonton melakukan pembelian. Tapi di Instagram, karena tidak mendukung sistem pembelian langsung, konversinya bisa dilihat dari jumlah klik ke Linktree atau link lainnya yang kita arahkan.
Kak Agung juga mengakui, berdasarkan pengalamannya, engagement paling sering berdampak pada peningkatan awareness. Sementara untuk urusan penjualan, dibutuhkan strategi lanjutan yang lebih detail mulai dari CTA yang jelas, funneling yang rapi, hingga analisis perilaku audiens.
7. Bukan Sekadar Angka: Menilai Kualitas Engagement yang Sesungguhnya
“Apa indikator paling relevan untuk menganalisis kualitas engagement, bukan hanya kuantitasnya?”
Pertanyaan ini menggali lebih dalam tentang kualitas interaksi karena engagement bukan cuma soal angka likes atau jumlah komentar, tapi seberapa dalam hubungan antara brand dan audiens.
Menurut Kak Agung Prasetyo, kita sudah hidup di era di mana angka bisa dimanipulasi. “Likes bisa dibeli, komen bisa suruh buzzer,” ujarnya. Maka dari itu, kita perlu menggali lebih jauh, apa indikator engagement yang benar-benar berkualitas?
Jawabannya ada pada kedekatan organik dengan audiens. Coba lihat, apakah ada audiens yang selalu hadir di setiap konten kita? Apakah mereka berkomentar dengan tulus dan panjang, bukan cuma satu-dua emoji atau kata generik? Apakah mereka rutin menanggapi polling di story, menjawab pertanyaan yang kita lempar, dan ikut diskusi dengan semangat?
Semua itu adalah indikator engagement berkualitas yang tidak bisa dibeli.
Khususnya di platform seperti Instagram, kedekatan ini bisa dibangun lewat interaksi yang personal. Memberikan sapaan di DM, membalas komentar dengan hangat, atau bahkan menyebut nama mereka di konten kita, hal-hal kecil yang membuat audiens merasa dihargai dan dilibatkan.
Jadi, bukan cuma soal seberapa banyak yang like, tapi seberapa dalam mereka terhubung dengan kita.
8. Tanda-Tanda Audience Mulai Jenuh? Ini Cara Bacanya!
“Bagaimana cara membaca pola engagement agar kita tahu kalau audience mulai jenuh atau bosan dengan konten kita?”
Insight ini penting banget buat content creator dan brand yang aktif di media sosial. Sebab, tanpa disadari, konten yang itu-itu saja bisa bikin audience bosan dan engagement menurun.
Menurut Kak Agung Prasetyo, cara terbaik untuk menyadari ini adalah dengan melakukan evaluasi secara rutin, bahkan setiap minggu.
“Dulu aku hanya cek performa bulanan, jadi telat sadarnya,” ujarnya. Tapi setelah mulai melakukan weekly report, pola kejenuhan itu jadi jauh lebih cepat terdeteksi.
Misalnya, saat itu ternyata konten yang diposting terlalu banyak hard-selling dan kurang variasi. Akibatnya, engagement turun drastis. Dari situlah muncul kesadaran bahwa pola konten perlu segera diubah.
Maka, semakin dini kita menganalisis performa konten, semakin cepat juga kita bisa ambil tindakan untuk improve. Evaluasi mingguan memungkinkan kita melihat mana konten yang mulai kehilangan daya tarik, dan mana yang bisa dikembangkan jadi format baru yang lebih fresh.
Jadi, kuncinya bukan cuma kreatif bikin konten, tapi juga tanggap membaca respons audiens secara berkala.
9. Biar Gak Sekadar Lewat: Rahasia Format Konten Interaktif yang Tahan Lama
Ketika ditanya bagaimana cara menciptakan format konten interaktif yang relevan untuk jangka panjang, Kak Agung Prasetyo menjawabnya dengan satu kata kunci penting, evergreen content.
Yup, konten evergreen adalah jenis konten yang sifatnya tidak terikat waktu, alias tetap relevan dan bisa digunakan kapan saja. Salah satu contohnya adalah konten edukatif.
Namun, konten edukasi saja tidak cukup. Agar tetap interaktif, harus ada CTA (Call To Action) yang jelas dan menggugah.
Misalnya, dalam konten “7 Cara Merawat Kulit yang Terkena Eksim,” kita bisa menambahkan pertanyaan sederhana di akhir:
“Menurut kalian, dari 7 cara tadi, mana nih yang paling gampang? Tulis di kolom komentar, ya!”
Dengan begitu, meskipun konten ditonton 1 tahun atau bahkan 3 tahun setelah diposting, interaksinya tetap bisa hidup, karena pertanyaan itu bersifat timeless dan tetap relevan.
Jadi, selain bikin konten yang informatif, pastikan kita arahkan audiens untuk ikut terlibat karena di situlah kuncinya engagement jangka panjang.
Kesimpulan
Dari sesi Ask the Expert bersama Kak Agung Prasetyo, kita belajar bahwa engagement bukan sekadar angka, tapi soal keterhubungan emosional, pemahaman akan perilaku audiens, dan strategi konten yang relevan serta autentik. Dengan membaca tren, menyusun customer journey yang jelas, hingga memainkan CTA yang kuat, kita bisa menciptakan interaksi yang bukan hanya ramai, tapi juga bermakna.
Ingin gabung di sesi Ask the Expert Belajar Sosmed bareng expert seperti Kak Agung?
Yuk, jangan lupa join Komunitas belajarsosmed.com di Telegram!
Di sana, kita bakal ngobrol seru soal dunia social media, digital marketing, dan insight-insight praktis lainnya langsung dari para expert yang udah berpengalaman di bidangnya.
Of course, kamu juga bisa ikutan diskusi, tanya jawab, dan belajar bareng komunitas yang patinya suportif banget!
Jadi, tunggu apa lagi? Yuk, gabung sekarang di Komunitas belajarsosmed.com!